KLHK Sambut Baik Hasil Kajian Hutan Adat Aceh oleh Peneliti dari USK

Banda Aceh – Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) melalui tim peneliti Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat menyerahkan hasil kajian hutan adat Aceh ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia di Jakarta, Selasa 14 Februari 2023.

Hasil kajian tersebut diterima Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Dr. Bambang Supriyanto, MSc, diwakili Direktur Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat (PKTHA) Ir. Muhammad Said, MM. Kegiatan tersebut berlangsung di ruang rapat Direktorat PKTHA Blok 4 Lantai 4 Kantor KLHK di Jakarta.

Dr. M. Adli Abdullah, S.H., MCL, selaku Koordinator tim yang ditugaskan Rektor USK, yang menyampaikan hasil kajian hutan adat Aceh mengatakan, hasil kajian ini merupakan jawaban atas permintaan Dirjen PSKL saat Simposium Nasional.

Acara yang berlangsung pada Agustus 2022 lalu tersebut membahas terkait Dilema Masyarakat Hukum Adat Indonesia. Acara itu dilaksanakan Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat.

“kedatangan kami kesini menindak lanjuti arahan dan permintaan Pak Dirjen PSKL pada saat simposium nasional, kami akan menyerahkan hasil penelitian yang menjawab beda wilayah gampong, mukim dan pawang uteun dalam pengelolaan wilayah adat, serta apakah ada potensi konflik jika usulan penetapan hutan adat mukim ditetapkan nantinya,” ungkap Adli.

Adli sendiri, selain sebagai dosen pada Fakultas Hukum USK juga sebagai Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN bidang Masyarakat Hukum Adat. Direktur PKTHA KLHK pun menyambut baik hasil kajian yang dilakukan para peneliti dari USK.

“Kami mengucapkan terima kasih dan senang sekali atas hasil kajian ini. Kajian ini dapat lebih meyakinkan kami terhadap proses penetapan hutan adat Mukim di Aceh,” ujar Direktur PKTHA, Muhammad Said.

“Adat kita memang berbeda-beda antar satu daerah dengan yang lain. Selama ini ada keraguan kami terhadap potensi konflik wilayah antara gampong dan mukim terkait usulan hutan adat mukim di Aceh. Dengan adanya kajian dari tim peneliti USK, maka dapat menghilangkan keragu-raguan tersebut dan berharap proses usulan hutan adat dapat segera kita lanjutkan kembali,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Tim Peneliti, Dr. Teuku Muttaqin Mansur, MH., yang diberikan kesempatan menyampaikan poin-poin umum hasil kajian tim menjelaskan, gampong dan mukim di Aceh bukan lembaga baru, bahkan masa kerajaan Aceh gampong dan mukim sudah eksis.

Namun, tahun 1974 dan 1979 masa Orde Baru, lembaga mukim dihapuskan, lembaga terendah dalam pemerintahan hanya berada pada tingkat desa. “Namun, sebenarnya mukim sebagai masyarakat hukum adat masih wujud dengan adanya Perda Nomor 5 Tahun 1996,” jelasnya.

Dalam penguasaan wilayah hutan adat, mukim memiliki wilayahnya sendiri berada diatas lintasan gampong-gampong, pemanfaatan dan pengelolaannya dapat diberikan kepada masyarakat gampong dalam kawasan mukim.

Sekalipun, ada gampong tidak beririsan dengan hutan, asal gampong tersebut dalam satu mukim, tetap dapat memanfaatkan dan mengelola hutan adat mukim, apalagi praktiknya sudah dilakukan turun temurun. “Jadi kecil kemungkinan terjadi konflik antara Gampong dan Mukim,” kata Muttaqin.

Hadir dalam pertemuan yang berlangsung hampir tiga jam itu,

Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal, Yuli Prasetyo Nugroho, S.Sos, M.Si; Kepala Seksi Pengukuhan Hutan Adat dan Perlindungan Pengetahuan Tradisional, Agung Pambudi, S.Sos; dan tim PKTHA. Sementara dari kampus USK, ikut hadir Dr. Muazzin, SH., MHum., serta anggota tim peneliti.

Kajian Hutan Adat Mukim sendiri dilakukan lebih kurang 2 bulan di Mukim Paloh, Mukim Kunyet Kecamatan Padang Tiji, dan Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. Kajian menggunakan metode socio legal, penelusuran kepustakaan, indept interview, observasi dan FGD. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *