Banda Aceh-Kepolisian di Aceh masih mendalami kasus dugaan pengancaman terhadap Jurnalisa, wartawan Harian Rakyat Aceh di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah yang terjadi beberapa waktu lalu.
Menurut penuturan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Nasir Nurdin, sejak awal kasus itu muncul ke publik, PWI Aceh terus berkoordinasi dengan Jurnalisa dan PWI Aceh Tengah termasuk saat membuat laporan ke Polres Aceh Tengah.
Kata Nasir Nurdin, pengurus PWI Aceh secara tegas melawan berbagai bentuk kekerasan, teror, intimidasi dan semacamnya apalagi kalau sudah sampai kepada ancaman bunuh terhadap wartawan yang menjalankan tugas profesinya sesuai Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Menurut informasi yang diterima PWI Aceh berdasarkan pengakuan Jurnalisa (baik kepada Ketua PWI Aceh maupun kepada kepolisian yang memeriksanya), dugaan ancaman bunuh itu dilontarkan pelaku dengan kata-kata.
Padahal, Jurnalisa sedang menjalankan tugas yang dilindungi oleh Undang-Undang. Ia mengangkat berita terkait pengerjaan proyek Pasar Rejewali Ketol yang diduga dikerjakan asal jadi dan lambat oleh pihak rekanan, padahal anggarannya besar.
Berita yang tayang di salah satu media online itu dinilai sesuai dengan kerja seorang wartawan dengan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), bahkan Jurnalisa sudah berusaha meminta konfirmasi kepada pihak terkait, tapi tidak direspons.
“PWI Aceh sangat menyayangkan cara-cara premanisme yang dilakukan orang yang diduga sebagai pengawas proyek dengan mendatangi rumah Jurnalisa dan mengeluarkan kata-kata ancaman bunuh,” ungkap Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin, Rabu 25 Januari 2023.
Di samping itu, PWI Aceh mengapresiasi langkah cepat pihak Kepolisian yang merespons pengaduan Jurnalisa berdasarkan Surat Pengaduan Nomor: Reg/78/XI/2022/Aceh/Res Ateng.
PWI Aceh tetap menghormati proses hukum yang dilakukan aparat Kepolisian dan berharap polisi bekerja dengan mengedepankan profesionalitas dalam menangani kasus yang dialami oleh pelapor.
“PWI Aceh bisa memaklumi kekecewaan Jurnalisa atas proses hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, seperti hasil gelar perkara kedua di Mapolres Aceh Tengah, Selasa 24 Januari 2024 yang menurut polisi kasus pengancaman yang dialaminya belum memenuhi unsur pidana,” ujar Nasir Nurdin.
PWI Aceh juga bisa memaklumi sikap para wartawan yang melakukan aksi protes (aksi diam) di depan Mapolres Aceh Tengah sebagai bentuk solidaritas terhadap Jurnalisa.
Itu sebabnya, PWI Aceh berharap Kepolisian mendalami lagi apa yang disampaikan pelapor, yaitu wujud sosok pengancam itu ada dan saksi ada enam orang, dan kalimat yang dilontarkan terlapor jelas ancaman pembunuhan.
PWI Aceh juga berharap pihak Kepolisian bisa memberikan tanggapan hukum terhadap pertanyaan pelapor mengenai landasan hukum yang digunakan oleh penyidik, sehingga terlapor tidak ditetapkan sebagai tersangka.
PWI Aceh berharap kepada pihak kepolisian membuka kesempatan selebar-lebarnya kepada pelapor untuk mencari ahli pidana lain di Jakarta dan akan bersurat ke Kapolri melalui Komisi III DPR-RI.
“Karena pelapor meragukan keterangan ahli hukum pidana yang ditunjuk oleh Universitas Syiah Kuala (USK) yang menyimpulkan kasusnya belum memenuhi unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 KUHPidana,” jelas Nasir Nurdin.
Bukan itu saja, PWI Aceh mendesak Kepolisian agar menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, karena dugaan pengancaman pembunuhan terhadap Jurnalisa tersebut berkaitan erat dengan profesinya sebagai wartawan.
“Dugaan pengancaman yang dilakukan terlapor merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan menghalang-halangi tugas wartawan atau pers dalam melaksanakan pekerjaan jurnalistik sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tegas Nasir Nurdin seraya berharap penegakan hukum yang sedang dilakukan bisa memenuhi rasa keadilan untuk semua pihak. []