Seni Budaya di Lhokseumawe, Hidup Segan Mati Enggan!

DUNIA seni dan budaya di Kota Lhokseumawe saat ini jauh dari harapan, dan seakan tak lagi menentu arah. Pelaku seni dan budaya di daerah itu mengaku risau atas kemunduran seni dan budaya.

Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe menyebut, belum terakomodirnya secara keseluruhan seni dan budaya lantaran terkendala anggaran. Berikut, Ahmad Mirzda, menuliskan untuk PENAPOST.ID

Jika tak pantas, bolehlah dikata ibarat menggenggam gunung tangan tak sampai. Rasa prihatin itu kini datang dari Nazaruddin Zainal. Pria yang akrab disapa Petuha Din. Ia adalah salah satu tokoh seniman Rapa’i Uroh di kota Lhokseumawe.

Ia berdomisili di permukiman Kandang, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Wajahnya tampak lesu saat ditemui media ini, keprihatinannya tentang seni budaya di daerah itu yang memudar.

Kurangnya dukungan dari Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe terhadap seni budaya di daerah itu yang telah mengakar daging, membuat dirinya menaruh kecewa penuh.

“Sepengetahuan saya belum ada penggelaran seni-budaya dan apapun dalam hal pemerintah sekarang, tapi kalau yang dulu-dulu luar biasa seni budaya digelar di setiap event,” ucap Petuha Din, Senin, (11/09/2023).

Ia mengaku, dulunya pemerintah era sebelumnya selalu melibatkan pelaku seni budaya Aceh, khususnya di Kota Lhokseumawe dalam setiap perhelatan, namun setelah dua tahun ini mereka seakan tidak diperhatikan.

“Selama dua tahun ini, setiap kegiatan di Kota Lhokseumawe tidak ada lagi pergelaran seni budaya, baik Seudati maupun Rapa’i Uroh dalam konteks lebih dominan di daerah ini,” ungkapnya.

Menurutnya, pergelaran yang selama ini dilakukan lebih banyak melibatkan masyarakat yang patungan secara suka rela agar keberlangsungan seni dapat dipertahankan.

“Jikapun ada itu pergelaran yang dilakukan oleh masyarakat sendiri secara suka rela, istilahnya kita patungan uang 5.000 per orang untuk dilakukan gelaran tersebut,” jelasnya.

Ahmad Mirzda bersama Nazaruddin Zainal. Pria yang akrab disapa Petuha Din. (FOTO | AHMAD MIRZDA/PENAPOST.ID)

Menurutnya, pelaku seni di Aceh, khususnya di Lhokseumawe telah banyak berkontribusi, bahkan pernah menghadirkan Muri dalam penggelaran rapa’i Uroh yang melibatkan 400 peserta dengan harapan menciptakan keunggulan kesenian Aceh khususnya kota Lhokseumawe.

“Dulu kita dari rapa’i Uroh pernah menghadirkan Muri 5 tahun lalu dengan 400-an peserta rapa’i, banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh pekerja seni Lhokseumawe agar dijuluki kota rapa’i, namun hingga sekarang belum tercapai atau sukses,” katanya.

“Kita ingin bahwa salah satu kesenian yang unggul di Aceh, khususnya rapa’i Uroh yang sudah digenjot dengan luar biasa bersama pemerintah yang dulu-dulu, dan alhamdulillah ada dukungan pemerintah Aceh,” ungkapnya.

Kepada pemerintah ia meminta jangan hanya memanfaatkan seni saat khususnya saja, karena Rapa’i bukan seni yang baru lahir melainkan warisan yang sudah ada sebelumnya.

“Rapa’i lahir bukan kemarin sore, jauh sebelumnya sudah ada di zaman kerajaan Pasee, rapa’i merupakan musik tradisional, Pemerintah jangan membuat kegiatan pada saat mereka perlu saja, seperti mendekati pemilu baru panggil pelaku seni rapa’i, itu sudah tidak sanggup lagi kita tanggapi,” jelasnya.

Ia berharap kepada pemerintah kota Lhokseumawe untuk memberikan perhatian khusus kepada pelaku seni dan kembali melakukan event dari tingkat pemukiman hingga antar kota maupun kabupaten, agar detak seni khas Aceh kembali menggema.

“Perhatian khusus dari pemerintah seperti masa sebelumnya sangat kita dambakan, adanya event tingkat kabupaten/kota antar kecamatan dalam kota antar gampong dalam pemukiman,” pintanya.

Ia meminta kepada pemerintah kota Lhokseumawe untuk segera menyelesaikan gedung kesenian agar pelaku seni mempunyai tempat dalam mengaspirasikan dan memajukan seni budaya yang ada di Lhokseumawe.

“Kalau ingin memajukan Lhokseumawe dalam hal seni budaya, salah satu-satunya dengan menghadirkan Gedung kesenian yang sudah dibangun oleh pemerintah era sebelumnya, tinggal diselesaikan saja,” katanya lagi.

Terkendala Anggaran
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lhokseumawe, Taufik melalui Kabid Kebudayaan Zul Afrizal saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya berupaya melakukan yang terbaik untuk memajukan kesenian yang ada di Lhokseumawe, namun keterbatasan anggaran membuat semua tak dapat terakomodir dengan baik.

“Pastinya kita selalu memberi perhatian lebih terkhusus terhadap kesenian khas Lhokseumawe, namun keterbatasan anggaran yang ada membuat tidak semua dapat terakomodir,” ujar Zul, Jumat, (15/09/2023), di Lhokseumawe.

Ia menjelaskan, untuk kesenian Rapa’i Uroh khususnya di bawah binaan petuha Din, pihaknya juga pernah diikut sertakan dalam penyelenggaraan, seperti penyambutan tamu khusus dari dalam negeri maupun manca negara.

“Untuk Rapa’i Uroh ada juga yang kita ikut sertakan dalam acara semisal penyambutan tamu dari luar negeri, seperti waktu itu dari Malaysia, pastinya kita libatkan. Bahkan dalam bulan lalu kami pernah mengundang petuha Din untuk menjadi narasumber dalam kegiatan dokumentasi aset kebudayaan,” terangnya.

Pemkot Lhokseumawe, kata pria yang akrab dikenal Jol Pasee ini, juga telah berdiskusi dengan petuha Din untuk membahas kegiatan PKA bulan November ke depan agar kelangsungan acara tersebut.

“Kita juga sudah diskusi dengan petuha Din untuk perhelatan PKA kedepannya, kita upayakan kesenian di Lhokseumawe kita tampilkan di tingkat kota maupun provinsi,” demikian Zul Afrizal. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *